Malam tadi aku bercinta dengan gelap dan sunyi. Kekosongan yang sejenak merambah jiwa. Meneteskan air mata luka. Haru tapi penuh makna. Jam menunjukkan pukul 01.30 WIB. Kokok ayam pertanda dini hari terdengar sayup-sayup ditingkahi gerimis. Aku baru saja pulang, masuk rumah dan menghempaskan pantat di empuknya pembaringan.
Aku melirik rokok di atas meja. Rokok LA putih milik Ronny, kekasih yang kini menjadi suamiku. Rokoknya tertinggal di meja dekat TV. Tergoda untuk mengisap walau hanya sebatang. Kuambil dan kutimang-timang dengan telunjuk dan jari tengah. Lalu kuletakkan lagi di meja. Tak ada korek api, pikirku. Aku membuka-buka laci, tak juga kutemukan. Lelah mencari membuatku malas dan tak jadi mencobanya.
Aku kembali memilih bercinta dengan gelap. Kupadamkan lampu kamar. Membakar lilin aroma terapi dan minyak esensial berbau lavender. Aku telungkup, terlentang, mendesah dan meregangkan kedua tangan di atas seprei motif abstrak ini. Seprei warna cream muda yang sering ketumpahan sperma usai bercinta. Aku mencoba menciptakan kantuk yang tak kunjung menyerang. Ah, jam tidurku sudah lewat tadi. Ke dapur lantas mengambil air hangat dan merendam kakiku di baskom. Masih di kamar yang gelap.
Pulang kerja tadi aku tak langsung pulang. Asyik melihat bagaimana rekan-rekan sesama wartawan yang memeragakan perangkat yang akan dibawa nanti ke daerah. Bagaimana mengirim berita, mengecilkan resolusi foto, menggunakan telkomsel flash, sampai bagaimana strategi kalau semua alat tak berfungsi.
Usai simulasi pun aku tak mau langsung pulang. Di luar hujan sedikit deras. Ngobrol sambil menunggu hujan reda membuat mata mengantuk. Aku juga batuk-batuk karena asap rokok memenuhi seluruh udara di ruangan. Lagi-lagi aku harus menjadi perokok pasif tanpa bisa menikmati bagaimana rasa nikmatnya orang merokok. Pikiran ini kadang menggodaku untuk mencoba mengisap rokok (ah jadi ingat becandanya kawan-kawan soal ‘rokok’)
Hujan reda, gerimis menjelma. Anak-anak mengajakku gabung nongkrong di warung kopi Gajah Mada. Ngopi bareng Deki, wartawan baru asal Yogya yang terpaksa tak lagi meneruskan karir di sini. Besok ia akan pulang. Tereksekusi hasil tes kesehatan yang membuatnya terpaksa memilih keluar setelah dua bulan mengikuti pendidikan. Tragis, nyeri dan memilukan. Menguras air mata semua yang mendengarnya.
Ayuklah, batinku. Sekali-kali ngopi di sana tak mengapa, walau aku sebenarnya kurang suka nongkrong di warung kopi karena penuh dengan asap rokok. Kami menembus gerimis. Ada enam motor meraung-raung malam itu. Aku, Agung, Hasyim, Daefvi, Danila, Bramasto, Dekky, dan Zamzami. Ririn, Galih dan Iin Sholihin yang rencananya menyusul terpaksa batal karena harus meliput razia Tipiring yang digelar Polda Kalbar. Ririn yang sedari tadi di kelas tak henti menangis hanya menelpon, bicara padaku dan dekky.
Di sana, ada Adi wartawan Trans TV, bersama wartawan TV lainnya, ada Sugeng Mulyono dan Hartono, wartawan kriminal Borneo Tribun, Heri Mustari, wartawan kriminal Equator, dan beberapa wajah yang tak aku kenal.
Kami makan apa saja. Bakwan, goreng pisang, tahu isi, kopi, teh, susu, mie rebus, sambil gojek-gojekan (meminjam istilah Agung). Suasana berbalut tawa itu masih tercekam keharuan di kelas, saat Mr Albert mengumumkan kepulangan Deki. Tapi kisah soal ekspresi idiot Dekky terus membuat kami senyum-senyum, sambil memintanya berpose dengan wajah idiot.
Aku tak bisa menghilangkan kesedihan. Aku menangis dalam hati dan dalam tawa. Hingga sampai di kamar ini, aku tak henti merenungi nasib Dekky. Apa yang terjadi pada kesehatannya. Begitu fatalkah hingga ia tak lagi bisa bergabung mengembangkan karir jurnalistiknya?
Rasa lelah dan jenuh memang sempat menghinggapinya. Juga kami dan lainnya. Tak heran satu dua orang sempat mau mundur karena ketatnya jadwal pelatihan. Begitu juga Dekky. Beberapa hari lalu, saat pengumuman tes kesehatan belum ia ketahui, ia sempat mau pulang kampung. “Tiket Lion Air bisa beli di mana sih Mbak?” tanyanya dengan maksud mencari tiket rute Pontianak-Yogya.
Waktu itu aku bertanya, “Kenapa, kamu sedang menimbang-nimbang untuk resign ya?” tanyaku. “Iya, aku masih menimbang-nimbang Mbak,” jawabnya. Beberapa hari berselang setelah itu, aku tak lagi mendengarnya bertanya soal tiket. Sampai saat pengumuman eksekusinya.
Tragisnya, pagi hari sebelum pengumuman itu, Dekky mengubah niatnya. Ia ingin tetap stay dan berjuang bersama kawan-kawan untuk berkarir sebagai jurnalis. Tekadnya itu akan ia buktikan melalui tulisan-tulisannya. Namun tekad itu seketika kandas dalam hitungan jam. Tak ada yang membuat aku sedih sampai menitikkan air mata selain peristiwa itu. Wajahnya yang tabah dan pucat masih terbayang. Bahkan sampai saat aku meringkuk di kamar gelap ini juga hingga tulisan ini aku buat.
Jam 12.00 siang ini ia ke bandara Supadio Pontianak, diantar beberapa rekan, ada yang bermobil dan bermotor. Aku hanya melepas kepergiannya di kantor. Stick drum. Kado itu dipilih dan dibeli kawan Dekky sesama perantau dari Yogya, Agung, dengan uangnya sendiri sebagai kenang-kenangan untuk Dekky. Harganya sekitar Rp 80 ribu, stick drum merk Zildjian.
Drum kata Dekky sudah mendarahdaging dalam jiwanya. Dari menabuh drum ia bertahun-tahun menggantungkan hidup dan harapannya akan musik. Selamat jalan Dekky, semoga kita dipertemukan dalam kondisi yang berbeda, saat kesuksesan menyertaimu.