Puncak acara kampanye hutan lestari oleh Menhut RI MS Kaban, budayawan Emha Ainun Nadjib dan artis Novia Kolopaking, berlangsung di lapangan Sepakat, Ketapang, Rabu (2/4) malam tadi.
Namun sebelumnya, Emha Ainun Nadjib atau yang dikenal Kiai Kanjeng alias Cak Nun ini sejak kedatangannya sudah menggelar sejumlah ceramah dan diskursus. Seperti Rabu (2/4) dini hari kemarin, ia mengisi ceramah subuh bagi jemaah shalat subuh keliling di Ketapang.
Menjelang siang, diskursus singkat bersama Cak Nun juga digelar Kantor Informasi Kebudayaan dan Pariwisata (Inbudpar). Dalam diskursus ini, Cak Nun memberikan penyadaran dan motivasi kepada masyarakat adat dan daerah untuk bangkit dari ketertinggalan dan melepaskan belenggu inferior dan rendah diri dari Jakarta, sebagai sentral administratif pemerintahan.
“Ketapang punya Melayu, Dayak, Madura dan lain-lain, sama seperti Indonesia. Nah sekarang, besar mana Indonesia ama Dayak, sama Melayu, Bugis, Madura, Sunda, dan lainnya?” tanyanya memulai diskusi. Sebagian peserta menjawab, Indonesia sebagai sesuatu yang lebih besar dari etnisitas.
Namun, agaknya jawaban itu dimentahkan Cak Nun dengan menegaskan, bahwa sebelum Indonesia terbentuk, dalam usianya yang baru 60 an tahun, bangsa Dayak, Melayu dan sebagainya sudah berabad-abad lamanya ada, “Jadi bagaimanan Indonesia bisa lebih besar dari Dayak atau lainnya?” kata Cak Nun.
Kebesaran etnis dan budaya ini kata dia, berarti mempunyai filosofi, kualitas yang sudah berlangsung berabad-abad. Sedangkan Indonesia baru 60-an tahun. “Dan ingat, Indonesia hanya perjanjian adminisitratif konstitusi, secara budaya dia bukan apa-apa, budaya itu ya Jawa, Dayak, Bugis, Melayu dan lainnya yang sudah berpuluh-puluh abad lamanya eksis,” tukasnya.
“Akan kita cari kita ini. apa lebih tua dari Ibrahim atau nabi siapa, cari induk nya, Dayak, Bugis, Melayu dan lainnya harus tahu sejarah dirinya, agar tidak minder dari bangsa lain, supaya kita tahu, jangan-jangan kita lebih dari apa yang kita kira, Indonesia ini cuma rumah to bu?” tanyanya pada seorang Ibu yang menjawab paling pertama.
Diskursus ini dihadiri sekitar 100 peserta dari berbagai kalangan, LSM, pejabat setempat, pers, siswa dan masyarakat setempat. Berkali-kali Cak Nun menekankan, bahwa Jakarta hanyalah perjanjian adminsitratif, “Jakarta jangan dianggap lebih hebat dari Ketapang. Saya serius!!! agar kita bisa menemukan kebudayaan kita,” katanya lantang.
Dayak lah yang melahirkan Indonesia, Melayulah yang melahirkan Indonesia begitu juga etnis lainnya. “Jadi jangan bilang Indonesia lebih besar dari budaya kita. Suatu hari Jakarta harus kita belah. Kalimantan harus jadi pusatnya, meski secara administratif bukan menjadi pusat. Agar Anda tidak dijajah oleh oportunis-oprtunis senayan yang mau jadi pemimpin tapi tidak pernah memikirkan Anda di deaerah,” ungkapnya tenang disambut tepuk tangan.
Selama ini kata Emha, masyarakat Indonesia banyak yang rela diperbudak Arab, Malaysia, Yahudi, amerika dan sebagainya. “Kita semua niru-niru barat, amerika, eropa,” sindirnya dalam diskusi yang dipandu M Yani, Kasi Inbudpar Ketapang ini.
Sekilas, Yani sempat memberikan prolog dalam cerita ‘bidik menggali’, dimana ada kisah terjadinya dunia pertama kali. Pandangan sesudah kematian, dimana sesudah hidup ada kematian, yang dalam kepercayaan masyarakat adat Dayak, roh akan pergi ke dunia lain, dimana dalam tradisi Dayak, arwah yang mati memulai langkah baru dalam kehidupan yang lain.
Cak Nun juga menyebutkan, Indonesia didirikan oleh lima pilar. Pilar rakyat, sebagai pilar pertama dan secara menyeluruh, tanpa dibedakan suku. Pilar ke dua, TNI dan polisi, pilar ketiga, kaum intelektual, keempat kekuatan adat dan kesadaran terhadap kepemilikan natural dan kultur, pilar kelima kekuatan keagamaan dan spiritual.
“Ketahanan nasional kita baru mengakomodasi dua,pilar yakni intelektual dan militer. Rakyat belum teruumuskan dengan baik, negara belum bisa meletakkan rakyat dalam praktik-praktik politiknya. Parpol pilih wakil parpol bukan wakil rakyat,” ucapnya diamini forum.
Pilar ke-4 dan ke-5 kata dia juga belum terakomodir. Kekuatan agama dianggap gangguan dan potensi konflik, tetapi negara tidak berusaha mencari inspirasi bahwa semua agama bisa menjadi wacana untuk mempermatang demokrasi yang kita pilih.
“Agama baru dikeluarkan secara defensif. Kalau masuk dalam birokrasi dan institusi baru di departemen agama, lucu, pengadilan agama nikah dan cerai di kalangan islam saja, aslinya tidak fair,” kata dia.
“Luas mana agama sama negara?” tanyanya. Khilafah dijelaskannya adalah suatu pemandatan untuk memimpin alam. “Pasar disediakan oleh agama, masjid, keraton, hutan, sungai agama menyediakan nilainya. Tapi dalam negara kita, agama hanya dijadikan departemen, yang secara langsung mengerdilkan agama,” ucapnya.
“Kita ini ikut demokrasi Indonesia tap tidak belajar pada Denmark, Thailand,dan lainnya yang meletakkan keraton pada proporsi yang cukup terhormat. Di sini keraton hanya jadi obyek wisata,” katanya.
Otonomi daerah seharusnya kata Cak Nun, seperti. genekologi raja. “Supaya kita bisa menghormati apa yang kita miliki, agar institusi kita matang. Bukan berarti jika Dayak besar dari Indonesia, berarti kita Dayak Centris, justeru kita memangku pusat, selama ini kan yang kasi makan orang Jawa adalah orang daerah,” katanya tertawa terbahak-bahak.
Otonomi daerah menurutnya bukan hanya bagi-bagi kue korupsi, bukan hanya pembangunan fisik, tetapi juga untuk menemukan garuda sejati. Garuda yang disimbolkannya sebagai hewan yang tahu sejarah nenek moyannya sendiri.
“2012 saya yakin Indonesia akan bangkit. Anda ini orang hebat. Bahasa Dayak lebih kaya, lebih banyak kosakatanya, entah dayak mana dan bagian mana. Salah satu tanda tuanya peradaban adalah bahasa. Pengenalan orang Dayak terhadap detailnya alam. Setiap etnik punya keistimewaan masing-masing,” tandasnya.