Dampak kenaikan harga minyak goreng yang terjadi secara serentak di Indonesia, juga berimbas pada pelaku usaha kecil menengah (UKM) di Pontianak, yang kini terancam gulung tikar.
Kenaikan harga minyak goring (migor) ini diikuti kenaikan harga bahan pokok lain, seperti tepung terigu dan tepung kanji. Akibatnya, sejumlah pelaku home industry terpaksa menurunkan jumlah produksinya.
Seperti yang dilakukan dua pengusaha yang ditemui di kediamannya, Sabtu (9/3) lalu, baik Syaridah Djamhari, pengusaha kerupuk amplang, dan Kartika, pengusaha keripik tempe, sama-sama mengaku terpukul dengan kenaikan harga minyak goreng ini.
“Saya tak habis pikir, dalam sehari minyak goreng bisa mengalami kenaikan sampai dua kali,” keluh Syaridah. Hal ini baginya terasa memberatkan usaha yang telah ia lakoni di kediamannya di Jalan DR Wahidin ini. Usaha krupuk amplang ini sudah lima tahun ia lakoni, guna menafkahi keluarganya.
Menurutnya, minyak goreng yang semula sudah malah seharga Rp13.500, dalam hari yang sama bisa naik menjadi Rp14.500 per kilonya. Kejadian tersebut membuatnya gerah. Ibu dua anak ini mengaku ingin turut melakukan demonstrasi kalau memang ada masyarakat atau mahasiswa yang berunjukrasa.
“Sementara untuk bahan baku membuat amplang, selain ikan, tepung kanji juga mengalami kenaikan. Semula seharga Rp56.000/karung kini menjadi Rp104.000/karung dan hal tersebut sangat memberatkan produksi,” keluhnya.
Untuk dapat terus bertahan, Syaridah terpaksa mengurangi jumlah produksi. Jika biasanya ia memproduksi hingga 50 kg/hari, kini hanya 18-20 kg/hari. Tak hanya itu, manajemen usahanya juga terpaksa melakukan pengurangan jumlah karyawan, dari lima menjadi tiga karyawan. Ditambah pengurangan tempat memasak, dari dua tempat menjadi satu tempat saja.
Sementara harga kerupuk amplang yang ia jual di pasaran tidak mengalami kenaikan harga, karena permintaan pasar. Mensiasatinya, ia melakukan pengurangan timbangan setiap kilo amplang, namun tak merubah harga.
Melihat kenaikan harga barang-barang kebutuhan pokok yang tak menentu itu, kata dia, tidak menutup kemungkinan usahanya akan gulung tikar. Sebab, pengalaman tragis itu pernah ia alami saat beternak ayam, yang terpaksa kandas akibat khawatir wabah flu burung, yang membuat ia memutuskan untuk membuka usaha baru memproduksi amplang.
Amplang ‘MIA’ ia ambil dari nama anak ke-2 nya, yang masih berusia 10 tahun. Ia berharap, pemerintah melakukan operasi pasar atau melihat pasaran minyak goreng di agen-agen agar harga tidak dinaikkan semaunya oleh agen.
Senada dengan Syaridah, bahkan Kartika, pengusaha keripik tempe, mengungkapkan, sudah hampir dua minggu ini menghentikan sementara produksi keripiknya. Selain bahan baku tempe yang mahal, harga minyak goreng yang juga naik membuatnya berpikir ulang untuk tetap menjalankan usahanya.
Ibu tiga anak ini merasa dirugikan dengan kenaikan harga minyak goreng yang tak menentu tersebut. Dia pun sangat menyayangkan peran pemerintah yang lemah dalam melakukan pengontrolan harga sembako, terutama minyak goreng yang naiknya bisa setiap waktu.
Dari pantauan di pasar-pasar tradisional di Pontianak, harga minyak goreng curah mencapai Rp13.500 -Rp14.000/kilogram. Sementara minyak goreng kemasan merek Sania Rp13.000/kilogram, Filma Rp14.500 kilogram.
Data Dinas Perindustrian dan Perdagangan (Disperindang) Kalbar menyebutkan, kebutuhan minyak goreng di Kalbar untuk hari biasa sekitar 3.000 ton/bulan.
Sebelumnya, Kadisperindag Kalbar, Ida Kartini, mengatakan, kenaikan harga minyak yang berbahan baku minyak sawit atau Crude Palm Oil (CPO) ini dipengaruhi naiknya permintaan konsumsi “biofuel” di pasaran dunia. Dengan kenaikan CPO di pasar internasional, diduga kuat banyak produksi CPO dalam negeri dipasok untuk ekspor.
Sebagai dampaknya, terjadi kelangkaan CPO dalam negeri serta lonjakan harga minyak goreng. “Kita berharap naiknya harga minyak goreng yang berasal dari CPO dapat dimanfaatkan para petani kelapa dengan mengolah buah kelapa menjadi minyak goreng,” imbaunya