Banjir Akibat Ketidakpatuhan pada RTRWK

Safitri Rayuni dan Asriyadi A Mering
Borneo Tribune, Pontianak

Banjir dan air pasang yang melanda Kota Pontianak dan sekitarnya diakibatkan ketidakkonsistenan pemerintah terhadap Rencana Tata Ruang dan Wilayah Kota (RTRWK). Hal ini ditegaskan Nova Dorma Sirait, Kasubbid Sumberdaya Alam dan Lingkungan Hidup, Bappeda Kalbar, Kamis (21/6) kemarin.

Pernyataan ini dilontarkan dalam forum Semiloka di Rektorat Untan, dengan tema Pembangunan Berkelanjutan dan Valuasi Lingkungan Provinsi Kalbar. Nova menjawab keluhan seorang dosen FKIP Untan, yang menyoal terjadinya banjir akibat rusaknya lingkungan.
Menurut Nova, alat yang digunakan dalam pengelolaan lingkungan hidup khususnya di perkotaan adalah penataan ruang yang diatur di dalam RTRWK. Dari RTRWK ini bisa diketahui mana lahan yang dilindungi dan yang bisa dimanfaatkan. “Ketidakpatuhan terhadap RTRWK inilah yang merusak lingkungan, termasuk kerusakan di udara, tanah, banjir, kekeringan dan intrusi air laut,” terangnya.
Dicontohkan Nova, kawasan Siantan dan seterusnya yang merupakan kawasan lindung atau konservasi, namun dimanfaatkan untuk pengembangan pemukiman dan pertokoan.
Konsisten tidaknya pemerintah, kata Novi, telah ditegaskan dalam Undang-undang nomor 26 tahun 2007 tentang Penataan Ruang. “Bagi pejabat yang menyalahi RTRWK daerahnya dan memberi izin pemanfaatan kawasan lindung atau daerah resapan air dikenakan sanksi pidana. Tindakan tegas aparat menjadi pembahasan dalam satu bulan terakhir,” paparnya.
Di tempat yang sama, Ketua Pusat Penelitian Kehati dan Masyarakat Lahan Basah (PPKMLB) Untan, Dr Gusti Zakaria Anshari mengatakan banjir yang terjadi akibat perubahan cuaca atau iklim. Gusti mengaitkannya dengan gejala La Nina yang muncul di berbagai kawasan, termasuk Indonesia.
“Curah hujan di Kalbar bisa dibilang cukup tinggi, ditambah volume milimeternya yang juga besar menjadi salah satu penyebabnya,” kata Gusti.
Ditambah lagi dengan daya serap lahan yang berurang akibat habisnya hutan, kerusakan gambut dan pendangkalan sungai memperparah situasi tersebut.
Pemerintah menurutnya harus konsisten dengan kaidah tata ruang yang telah dibuat bersama. Pergantian kepemimpinan, kata Gusti, janganlah menjadi penghalang untuk meneruskan program konservasi lingkungan hidup. “Peta daerah resapan air juga belum sepenuhnya kita dapatkan sehingga diperlukan keterbukaan kepada publik. Penegakan hukum juga harus berjalan sebagaimana mestinya,” tandas Gusti.
Di tempat yang sama Kepala Bapedalda Provinsi Kalbar, Ir Tri Budiarto menambahkan, selain eksistensi tata ruang kota, tipologi Kota Pontianak yang merupakan kawasan delta dan terdiri dari endapan lumpur juga menjadi faktor potensi banjir. Letaknya yang sangat rendah menyebabkan beberapa kawasan mudah terendam bila karakteristik hujannya seperti sekarang ini.
Namun demikian dia mengingatkan bahwa apa yang terjadi saat ini jangan dianggap sebagai fenomena alam semata-mata. Karena walaupun kejadiannya sama, tetapi luasan dan dampak yang ditimbulkan lebih besar dari biasanya. Dia menegaskan kalau mindset masyarakat sudah harus diubah dengan tidak lagi menganggap banjir maupun bencana yang terjadi adalah takdir Tuhan. Tetapi sangat dipengaruhi oleh deforestasi yang kian parah, konversi lahan hutan menjadi non hutan, kebakaran hutan dan emisi.
Sementara itu Rektor Universitas Tanjungpura, Dr H Chairil Effendi saat pembukaan semiloka menegaskan bahwa pembangunan berwawasan lingkungan tidak lagi cukup hanya sekadar sebagai sebuah paradigma maupun ideologi, melainkan menjadi ‘agama baru’ demi keselamatan seluruh manusia dan planet bumi ini. □

Share